“KKP dan KKB itu miliknya polisi dan KKSB itu miliknya TNI. TNI dan Polri lebih profesional ciptakan label dan stigma politik dan sosial semau-maunya mereka. Itu sesungguhnya watak bangsa kolonial”.
Oleh Gembala Dr. Ambirek/t G. Socratez Yoman
Saya mau sampaikan kepada bapak-bapak dan ibu-ibu polisi dan tentara Indonesia dengan satu kata sederhana, yaitu:
“KAMI SUDAH SEKOLAH”.
Kami selalu mendidik dan mengajar serta memberikan pencerahan dengan cara-cara manusiawi dan beradab untuk Anda semua dengan karya-karya ilmiah yang berbasis penelitian, riset, data, obyektif dan rasional.
Seperti ada berita dari Wakapolda Papua Brigjen Faizal Ramadhani dalam keterangannya detikSulsel pada (18/7/2025). yang saya kutip ini, sebenarnya stigma dan label kuno, ketinggalan zaman dan usang.
“Polisi mengungkap kemunculan kelompok kriminal politik (KKP) di Papua. Kelompok yang menyebarkan separatisme itu dinilai berpotensi jauh lebih berbahaya dari kelompok kriminal bersenjata (KKB).
“Kalau ini tidak ditangani dengan serius, bisa menumbuhkan simpati baru dan itu jauh lebih berbahaya”.
“Muncul Kelompok Kriminal Politik di Papua, Tanpa Senjata Tapi Lebih Bahaya”.
Saya mau sampaikan Kelompok Kriminal Politik yang berbahaya di Indonesia ialah mereka yang menutup gedung ibadah, larangan ibadah dan tutup tempat ibadah di luar Papua di sana.
Koq, rakyat dan bangsa Papua Barat yang memperjuangkan hak hidup, hak tanah, hak politik di atas Tanah leluhur koq, disebut KKP, KKB, dan KKSB???
DULU, dimata kolonial Belanda, waktu itu, Ir. Sukarno dan Muh. Hatta dilabel/distigma separatis. Mereka dianggap melawan pemerintah sah Belanda yang menduduki di Indonesia. Penguasa Indonesia belajar dar gurunya, yaitu kolonial Belanda dan terapkan stigma yang sama atas bangsa Papua Barat sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang tahun 2024.
Siapa yang membuat label dan stigma terhadap umat Tuhan dan domba-domba Allah di Tanah Papua Barat dengan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Gerakan Pengacau Liar (GPK), Organisasi Papua Merdeka (OPM), Separatis, Makar, Kelompok Kriminal Bersenjata dan Teroris?
Siapa yang menyebutkan umat Tuhan Penduduk Orang Asli Papua Barat dengan label monyet?
Pertanyaan ini dijawab oleh Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B. Ponto mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (KABAIS) TNI sejak tahun 1996-2014 dan Laksmana Muda TNI (Purn) Iskandar Sitompul.
Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B. Ponto mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (KABAIS) TNI sejak tahun 1996-2014 dan Laksamana Muda TNI (Purn) Iskandar Sitompul melalui saluran Iskandar Sitompul Publika-Poscast membongkar aib, borok, kebusukan dan rahasia operasi militer dan mitos, stigma dan label yang diproduksi militer Indonesia di Papua Barat.
Laksamana Muda (TNI) Soleman B. Ponto mengatakan:
“Kita (TNI) yang memberi nama KKB, KSB. Sekarang ini, suka-suka memberi nama..”
Ditambahkan di Papua itu “ada hanya nyamuk-nyamuk, pakai semprot baigon bukan pakai senjata. Ada belalang di sana, tidak cocok gunakan baigon.”
Laksamana Muda TNI (Purn) Iskandar Sitompul mengatakan:
“Seperti dulu, kami kasih nama GPK. Saya masih ingat di kepala saya sampai sekarang.”
Dengan tepat Syed H. Alatas menyatakan:
“Mereka harus direndahkan dan dibuat merasa bodoh dan bersikap tunduk, karena kalau tidak, mereka akan bergerak untuk memberontak. Maka penghancuran kebanggaan pribumi dipandang sebagai kebutuhan; karenanya dilakukan pencemaran watak pribumi”.
( Sumber: Mitos-Mitos Pribumi Malas: Citra Orang Jawa, Melayu dan Filipina Dalam Kapitalisme Kolonial: 1988: 37, 44).
Selama ini kita semua heran dan saksikan Negara melalui TNI, Brimob, Kepolisian dan berbagai kesatuan menggunakan stigma dan label yang mereka ciptakan sendiri dan menggunakan label atau stigma itu mengejar dan menangkap anggota KNPB yang dijadikan Daftar Pencarian Orang (DPO).
Terima kasih kepada Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B. Ponto mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (KABAIS) TNI sejak tahun 1996-2014 dan Laksmana Muda TNI (Purn) Iskandar Sitompul yang menyatakan bahwa label dan stigma Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Gerakan Pengacau Liar (GPK), Organisasi Papua Merdeka (OPM), Separatis, Makar, Kelompok Kriminal Bersenjata dan Teroris itu diciptakan oleh Negara, TNI dan Kepolisian Republik Indonesia.
Akhir dari tulisan ini saya mengutip kutipan pernyataan seorang pendeta mantan tahanan dari kekejaman penguasa Apartehid di Afrika Selatan yang diabadikan oleh Alm. Arbishop Desmond Tutu dalam bukunya: “Desmond Tutu The Rainbow People of God: The Making of a Peaceful Revolution” sebagai berikut:
“By the way, these are God’s children and the are behaving like animals. They need us to help then recover the humanity they have lost” ( 1994:124).
Terjemahan bebas seperti ini:
“Omong-omong, ini adalah anak-anak Tuhan dan mereka berperilaku seperti binatang. Mereka membutuhkan kita untuk membantu memulihkan kemanusiaan mereka yang telah hilang” (1994:124).
Apakah para penguasa Indonesia, TNI, Kepolisian Indonesia telah kehilangan sebagian kemanusiaan mereka dan sebagaian seperti hewan dan binatang sehingga memperlakuan POAP tidak adil, kejam dan tidak manusiawi, barbar selama ini dengan stigma dan label Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Gerakan Pengacau Liar (GPK), Organisasi Papua Merdeka (OPM), Separatis, Makar, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan Teroris?
Semua label dan stigma ini untuk menekan rakyat dan bangsa Papua Barat supaya tidak bersuara dan melawan Pepera 1969 yang cacat hukum dan moral yang dimenangkan ABRI, Pelanggaran HAM berat, genocide, ecocide, ketidakadilan, militerisme, kapitalisme, kolonialisme, imperialisme, dominasi, rasisme dan marginalisasi.
Mayon Sutrisno mengatakan:
“Bagaimana pun bodoh dan primitifnya suatu bangsa, mereka akan tumbuh, berkembang dan memiliki naluri mempertahankan hidup” (Sumber: Arus Pusaran Soekarno: Roman Pergerakan, 1985:122).
Pdt. I.S. Kijne bernubuat:
“Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tudak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” (Wasior, Manokwari, 25 Oktober 1925).
Uskup Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB mengatakan:
“……dalam realita kalau sudah menyangkut pribadi manusia, walaupun dengan alasan keamanan nasional, Gereja akan memihak pada person karena pribadi manusia hanyanya lebih tinggi daripada keamanan negara atau kepentingan nasional”.
(Sumber: Frans Sihol Siagian & Peter Tukan: Vioce of the Voiceless (Suara Kaum tak Bersuara) Penerbit Obor, 1997:127).
Dalam dinamika realitas kekejaman dan kejahatan kemanusiaan yang dialami dan dihadapi umat Tuhan, domba-domba Allah, umat Tuhan, terutama Penduduk Orang Asli Papua Barat (POAPB) sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang ini, dimana suara gereja di mimbar-mimbar?
Gereja harus bersuara dalam terang Injil Yesus Kristus, kuasa Allah untuk menghentikan stigma atau label
Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Gerakan Pengacau Liar (GPK), Organisasi Papua Merdeka (OPM), Separatis, Makar, Kelompok Kriminal Bersenjata dan Teroris.
Tuhan Yesus memberkati dan membuka hati, pikiran dan membangunkan kesadaran kemanusiaan kita untuk melihat POAP sebagai manusia utuh dan sempurna diciptakan Tuhan dan pemilik dan Tuan atas TANAH Papua Barat dari Sorong-Merauke, tetapi bukan KKB dan stigma negatif lainnya.
Selamat membaca. Terima kasih.
Ita Wakhu Purom, 19 Juli 2025
Penulis
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
2. Anggota: Dewan Gereja Papua
(WPCC).
3. Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC).
4. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
__________
Kontak: 08124888458














