Presiden Prabowo Subianto Bubarkan dan Batalkan Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua 2025?

OPINI592 Views

“Presiden Prabowo Subianto segera menunjuk Special Envoy untuk penyelesaian akar konflik Papua yang sudah menahun/kronis yang terlama di Asia Pasifik”.


Oleh Gembala Dr. Ambirek G. Socratez Yoman

Presiden Prabowo Subianto melakukan kesalahan yang sama seperti Haji Susilo Bambang Yudhoyono dengan UP4B tahun 2001 dan Ir. Joko Widodo dengan B3OKP tahun 2011. Tiga Presiden ini sedang putar rekaman film yang sama dan hanya nama judul filmnya yang diganti. Atau bajunya diganti tapi orangnya tetap sama.

banner 336x280

Saya ajukan beberapa pertanyaan penting.

1. Untuk apa ada gubernur di provinsi Papua dan lima provinsi boneka Indonesia di Tanah Papua Barat?

2. Apa tugas para tumpukan gubernur di Tanah ini?

3. Apakah mereka bukan kepanjangan tangan pemerintah pusat dan sudah sumpah janji setia untuk membangun dan menjaga NKRI harga mati?

4. Apakah Gubernur Papua dan gubernur lima provinsi boneka ini dianggap tidak mampu melaksanakan tugas pemerintahan di daerah atau wilayah mereka?

5. Untuk apa membentuk Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua? Bagaimana kebijakan yang tumpang tindih (overlap) yang memboros anggaran negara?

6. Untuk apa (1) Velix Vernando Wanggai, (2) John Wempi Wetipo, (3) Ignatius Yogo Triyono, (4)Paulus Waterpauw, (5) Ribka Haluk (6)
Ali Hamdan Bogra, (7)Gracia Josaphat Jobel Mambrasar, (8)Yani, (9) John Gluba Gebze, (10) Johnson Estrella Sihasale atau Ari Sihasale dipercayakan untuk ikut terlibat dalam pembangunan Provinsi Papua dan lima provinsi boneka Indonesia di Tanah Papua Barat?

Presiden Subianto Prabowo yang saya nilai dan juluki orang berkarakter jujur, berbudi luhur dan biasanya bicara apa adanya ini melakukan kesalahan yang sama seperti pendahulunya.

Dibentuknya Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (KEPPOKP) itu sama saja dengan dua pemimpin terdahulu,yaitu:

(1l Di era Haji Susilo Bambang Yudhoyono dibentuklah Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) dengan PP 66 tahun 2011 yang dikepalai oleh Bambang Darmono dan Gad Fonataba.

(2) Di era Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) nomor 121 tahun 2022 tentang Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua. Peraturan tersebut ditetapkan di Jakarta, 21 Oktober 2022. Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua atau Badan Pengarah Papua merupakan lembaga nonstruktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.

Dalam kebijakan yang tumpang tindih (overlap) seperti ini tidak menyentuh substansi akar konflik Papua Barat. Lebih bijaksana ialah percayakan, kuatkan dan anggarkan yang layak untuk gubernur Papua dan lima provinsi boneka Indonesia di Tanah Papua Barat.

Presiden Prabowo Subianto tidak perlu membuat kesalahan yang sama dengan pemimpin terdahulu. Pokok persoalan yang dihadapi bangsa Papua Barat sejak dulu sudah merupakan masalah yang berdimensi internasional yang meliputi: ketidakadilan, distorsi sejarah, diskriminasi rasial, operasi militer, operasi transmigrasi, kolonialisme, imperialisme, kapitalisme, genosida, ecosida, dominasi migran dan marginalisasi Penduduk Pribumi/Penduduk Orang Asli Papua.

Di seluruh Tanah Papua Barat tidak ada pembangunan, tetapi yang ada adalah kolonialisme modern yang diterapkan dengan kultur militer dan kekerasan. Ingat! UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001 bukan Resolusi Konflik, tapi hanya Resolusi Pembangunan yang tidak menyelesaikan akar konflik Papua Barat. Otsus merupakan upaya pemerintah untuk menghindari atau menyembunyikan akar konflik dan memperpanjang penderitaan rakyat dan bangsa Papua Barat.

Diharapkan pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Prabowo Subianto dapat melihat dan melaksanakan dua resolusi, yaitu resolusi pembangunan dan resolusi konflik.

1. Resolusi Pembangunan

Apa yang dimaksud dengan Resolusi Pembangunan? RP ialah seluruh proses pembangunan fisik dan non fisik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia di Tanah Papua Barat sejak 1 Mei 1963 sampai saat ini.

Resolusi Pembangunan (RP) dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi infrastruktur dan pengangkatan ASN, anggota TNI/Kepolisian dan lain-lain di Tanah Papua Barat.

Bukti Resolusi Pembangunan juga dalam bentuk UU Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001, UP4B Perpres Nomor 66 Tahun 2011, Otsus Kasus nomor 2 Tahun 2021, B3OKP, Provinsi-provinsi boneka Indonesia, Papua Christian Center (PCC), Papua Youth Center yang dibangun BIN dan terbaru KEPPOKP.

Seluruh Resolusi Pembangunan (RP) ini ada dua hal paling mendasar, yaitu:

(1) Semua RP ini merupakan kewajiban dan tanggungjawab Negara untuk melaksanakan Pembangunan selama, sejauh dan sepanjang Indonesia mengkleim Papua Barat wilayahnya. RP adalah alat pendudukan dan kolonialisme Indonesia atas bangsa Papua Barat.

(2) Seluruh Resolusi Pembamgunan (RP) ini tidak menjawab akar konflik Papua Barat. RP pembangunan tidak dapat digadaikan ideologi dan nasionalisme rakyat dan bangsa Papua Barat. Rasisme tidak bisa digadaikan dengan RP. Ketidakadilan tidak dapat digadaikan dengan RP. Pelanggaran HAM berat tidak ditukar dengan RP. Martabat kemanusiaan rakyat dan bangsa Papua Barat tidak diukur dengan RP. Proses genocide tidak bisa ditutupi dengan RP. Marginalisasi dan dominasi migran tidak dapat ditutupi dengan Resolusi Pembangunan.

Pemerintah Indonesia berpandangan bahwa RP dapat menjawab seluruh akar konflik Papua Barat. Di sini, terlihat kekeliruan dalam kebijakan RP di Tanah Papua Barat

Singkatnya, RP itu kewajiban dan tanggungjawab Negara dan ia tidak ada hubungan dengan penyelesaian Akar Konflik Papua Barat.

Cypri Jehan Paju Dale adalah seorang peneliti pada Insitute Antropologi Sosial, Universitas Bern, Swiss. Ia juga merupakan penulis buku “Paradoks Papua” (2011) dan “Kuasa, Pembangunan, dan Pemiskinan Sistemik” (2013), menulis dengan tepat:

“Sudah sejak lama agenda pembangunan pemerintah Indonesia di Papua mendapat kritik dan menulai perlawanan sengit. Operasi tambang, industri kayu, dan perkebunan sawit, tidak pernah sepi dari protes dan perlawanan.”

“Inti dari gugatan orang Papua terhadap pembangunan versi Indonesia itu terungkap dalam pertanyaan: Untuk siapa dan untuk apa sebenarnya pembangunan di Tanah Papua?*

“Sebuah gugatan kritis mendasar yang mengobrak-abrik kepercayaan diri dan membongkar kepentingan-kepentingan terselubung Jakarta di Tanah Papua. Orang Papua tidak saja menuntut sebuah pembangunan yang partisipatif, di mana mereka dilibatkan. Tetapi mengggugat tujuan, manfaat, dan bahkan seluruh rancang bangun pembangunan itu.

,”Gugatan kritis seperti itu tidak dapat dienyahkan begitu saja sebagai suara dari kaum yang dilabel separatis. Substansi dari kritik itu adalah apa yang sudah lama digumuli antropolog sosial dan aktivis anti-kolonial/post-kolonial/de-kolonial di berbagai belahan bumi; yaitu kolonialitas pembangunan atau penjajahan dalam dan melalui pembangunan”.

“Analisis tentang kolonialitas pembangunan itu mengungkap sisi gelap pembangunan yang alih-alih memenuhi janji mengentas kemiskinan dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat setempat, justru menjadi alat bagi penguasaan sumber daya alam, dengan memarjinalkan masyarakat pemilik asal dari sumber daya itu dan merusak lingkungan serta budaya mereka”.

“Akibatnya, alih-alih membuat keadaan lebih baik bagi kelompok sasarannya, pembangunan itu berakhir dengan dominasi, pencaplokan sumber daya, marginalisasi, subordinasi, dan kekerasan dalam berbagai bentuk”.

“Di Papua, seluruh program pembangunan diklaim atas namai menyejahterakan orang asli Papua. Namun, kendati saat ini Papua menjadi tempat beroperasinya tidak kurang dari 240 izin tambang, 79 izin HPH raksasa, 85 izin perkebunan sawit, Papua tetap menjadi provinsi termiskin dari tahun ke tahun.*

“Pembangunan infrastruktur dan industri baru serta operasi keamanan oleh pemerintahan Jokowi, kendati dibungkus dalam kehendak membuka isolasi Papua dan memakai pendekatan antropologi, secara terang-benderang bertujuan untuk memfasilitasi operasi dari berbagai korporasi milik oligarki pebisnis-politisi Indonesia Raya beserta mitra trans-nasional mereka”.

“Infiltrasi penduduk itu terjadi melalui proses yang difasilitasi negara seperti program transmigrasi, infiltrasi militer, dan mobilisasi aparat sipil dan keluarganya, maupun arus migran spontan warga biasa yang mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak dalam proyek-proyek pembangunan di Papua”.

“Infrastruktur dasar, fasilitas publik, sekolah-sekolah, dan sarana kesehatan yang dibangun dengan mengatasnamakan kesejahteraan orang Papua, justru dinikmati oleh pendatang yang jumlahnya lebih besar, selain oleh segelintir elite Papua di pemerintahan dan korporasi. Apalagi di masa otonomi khusus (Otsus), pembangunan lebih terpusat di kawasan kota yang lebih banyak pendatangnya”.

“Rentetan keterjajahan itu diperparah dengan kontrol militeristik atas pri-kehidupan publik di Papua. Seluruh protes orang Papua terhadap kejahatan pembangunan, manipulasi sejarah, dan dominasi demografis, ditanggapi otoritas Indonesia tidak sebagai aspirasi untuk mencari solusi, tetapi dihadapi dengan operasi kekerasan”.

“Singkatnya, cara pembangunan dijalankan di Papua lebih merupakan bagian dari kontrol dan penguasaan atas manusia Papua dan segenap kekayaan alam dan budaya mereka. Aspirasi mereka akan hidup yang layak dalam alam dan budaya mereka yang lestari ditanggapi bukan dengan merubah cara pembangunan dijalankan, tetapi dengan kontrol, represi, dan dominasi militeristik”.

“Pembangunan seperti itu tidak sepenuhnya membawa kontribusi positif seperti yang digembar-gemborkan, tetapi membawa serta ancaman dan bencana bagi penghidupan orang Papua, alam, dan budaya mereka”.

“Jika pemerintah Indonesia benar-benar mengerti pendekatan sosial antropologi dalam pembangunan, pastilah tahu bahwa pembangunanisme seperti itu bukanlah solusi, melainkan akan memperparah persoalan di Papua. Mereka juga semestinya tahu bahwa pembangunan seperti itu akan dengan sendirinya mengobarkan perjuangan rakyat Papua untuk melawan dan memerdekakan diri”.

2. Resolusi Konflik

Pemerintah Indonesia belum mempunyai konsep Resolusi Konflik yang konkrit. Pemerintah Indonesia terus bersembunyi dibalik Resolusi Pembangunan yang menindas, melumpuhkan, meminggirkan dan memusnahkan Penduduk Orang Asli Papua.

Pembangunan itu sama seperti Perban Luka jahitan yang selalu diganti-ganti. Luka tetap bernanah dan membusuk, tapi perban luka terus-menerus diganti di luka yang sama tanpa luka dibersihkan nanah dan busuknya.

Artinya, di seluruh Tanah Papua Barat tidak ada pembangunan, tetapi yang ada adalah kolonialisme modern yang diterapkan dengan kultur militer dan kekerasan.

Ingat! UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001 bukan Resolusi Konflik, tapi hanya Resolusi Pembangunan yang menyengsarakan Penduduk Orang Asli Papua.

Resolusi Konflik (RK) harus dibangun kerangka, pijakan, acuan dan pedoman dengan jelas (clear).

Menurut saya, dan saya sependapat, saya mendukung dan saya merekomendasilan empat akar konflik hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI) sangat layak menjadi kerangka, pijakan, acuan dan pedoman untuk dibangun Resolusi Konflik Papua Barat.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yaitu empat akar sejarah konflik atau akar kekerasan Negara di Papua. Empat pokok akar konflik dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008),  yaitu:

1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;

(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;

(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;

(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.

Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah konkrit, strategis, konstruktif, dialogis untuk mengakomodasi penyelesaian akar konflik Papua Barat yang kronis dengan melibat pihak ketiga yang netral di tempat yang netral. Contohnya, pemerintah sudah menjadikan GAM sebagai mitra dialog di Helsinki pada 15 Agustus 2005. Pendekatan masih relevan karena persoalan konflik Papua Barat sudah berdimensi Internasional.

Artikel ini saya baktikan sebagai sebuah pemikiran alternatif dan perspektif baru untuk mencari jalan penyelesaian akar konflik dan persoalan kemanusiaan di Tanah Papua Barat yang sudah berlangsung selama enam dekade lebih sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang ini. Saya mencoba membangun jembatan dan komunikasi dengan presiden Indonesia terpilih dengan persepsi yang tegak lurus dengan menyajikan pokok-pokok masalah yang selama ini dihindari oleh penguasa Indonesia.

Kekerasan terhadap kemanusiaan ini tidak berdiri sendiri dan tidak hanya terbatas dalam konteks Indonesia.
Ada keterlibatan dan konspirasi internasional yang mengorbankan nasib dan masa depan rakyat dan bangsa Papua Barat, yaitu, Amerika Serikat, Belanda, Indonesia dan PBB ada di dalam Perjanjian Internasional seperti New York Agreement 15 Agustus 1962.
Oleh karena itu, dalam penyelesaian akar konflik Papua Barat yang kronis ini perlu dan penting ada pertanggungjawaban moral, etik dan politik dari PBB, Amerika Serikat dan Belanda.

Selanjutnya, persoalan ideologi Papua Barat merdeka itu sudah berakar dan sulit digadaikan dengan pembangunan, uang dan jabatan. Kita sangat berbeda secara ideologis, antropologis, sosiologis, ernis dan letak geografis dan juga pemahaman proses sejarah. Ideologi Papua Barat merdeka tidak dapat digadaikan atau diselesaikan dengan Otonomi Khusus, pemekaran provinsi boneka, pemberian reward (penghargaan) pada orang tokoh-tokohan (tokoh boneka), kunjungan Presiden dan wakil Presiden berkali-kali dan pemberian uang dalam jumlah banyak. Ini semua resolusi Pembangunan sebagai suatu kewajiban negara, bukan resolusi Konflik untuk penyelesaian akar konflik Papua Barat.

Fakta sejarah, rakyat dan bangsa Papua Barat 100% tidak pernah memilih untuk bergabung dengan Indonesia melului rekayasa Pepera 1969. Yang menggabungkankan wilayah Papua Barat dengan paksa ke dalam wilayah Indonesia adalah ABRI melalui moncong senjata. Oleh karena, saat ini, militer lebih gelisah karena kebohongan dan kekejamannya mulai terbongkar. Kebohongan dan kejahatan tidak pernah berumur panjang.

Penguasa Indonesia bekerja dan berusaha keras dengan berbagai bentuk wajar dan tidak wajar: kejahatan- kejahatan dan kebohongan- kebohongan untuk mempertahankan Tanah Papua Barat.Tetapi, rakyat dan dan bangsa Papua Barat dengan konsisten terus mendidik para penguasa dan seluruh rakyat Indonesia dan komunitas internasional dengan data dan fakta-fakta kebenaran dengan jalan yang benar, jujur, dan obyektif untuk tujuan mulia, yaitu penghormatan hak dan martabat kemanusiaan kami sebagai sebuah bangsa merdeka dan berdaulat pada 1 Desember 2961 dan bukan sebagai sebuah provinsi-provinsi boneka kolonial Indonesia.

Persoalan konflik Papua Barat yang menahun adalah seperti batu kerikil dalam sepatu dan duri dalam tubuh Indonesia. Batu kerikil dalam sepatu dan duri ini dirawat, dipelihara dan dipertahankan dengan kebohongan-kebohongan dan hoax dari para penguasa Indonesia selama bertahun-tahun.

Sekali lagi, artikel ini bagian yang tak terpisahkan doa, harapan dan cita-cita luhur saya untuk mendukung dan memperkuat empat akar masalah Papua yang kaji dan dihasilkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Artikel ini dihadirkan di hadapan para pembaca dan presiden terpilih Prabowo Subianto untuk tidak berada dalam cara dan metode lama, diharapkan ada pendekatan baru ( new approach), alternatif baru, persepsi baru, inovasi baru, kreativitas yang baru, dan narasi-narasi modern untuk mengakhiri kekerasan Negara dan kejahatan kemanusiaan di Papua Barat. Papua Barat meliputi dari Sorong sampai Merauke.

Akhir kata, solusi terbaik, bermartabat, adil, manusiawi dan berabab ialah Presideb Prabowo Subianto segera menunjuk Special Envoy untuk penyelesaian akar konflik Papua yang sudah menahun/kronis yang terlama di Asia Pasifik”.

Selamat Membaca. Tuhan memberkati.

Ita Wakhu Purom, 17 Oktober 2025

Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota: Konferensi Gereja Pasifik (PCC).
4. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
_________________

Kontak: 08124888458

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *